Yang Sering Luput: Memaafkan Diri

… Aku merasa bersalah. Terkadang, ketika rasa bersalahku tinggi, aku melakukan self-harm. Aku tahu melakukan hal itu bukan solusi. Aku ingin berhenti menyalahkan diriku sendiri.” – DH, 18 tahun.

“… Saya takut mengecewakan kedua orangtua saya karena ketika mereka marah, mereka mengatakan hal yang sama “kamu tidak berguna”. Saat itulah saya merasa benar-benar tidak berguna. Saya benar-benar menyalahkan diri saya.” – MKI, 18 tahun.

Sepanjang hidup kita, tidak semua hal berjalan sesuai dengan apa yang kita harapkan. Ketika apa yang tidak kita harapkan terjadi, ada kalanya kita menjadi marah, kecewa, ataupun sedih. Kita juga tidak luput dari membuat kesalahan. Mungkin kita pernah membuat orang lain sedih atau marah karena tindakan kita. Sehingga terkadang, kita menyalahkan diri atas pengalaman buruk dan atau tingkah laku kita tersebut. Dengan menyalahkan diri, kita memberikan pandangan negatif terhadap diri sendiri. Bisa jadi, kita memandang diri kita adalah sosok yang gagal, sosok yang tidak membanggakan, sosok yang hanya menjadi beban. Wah, kalau sudah begini, diri kita akan semakin sedih ya?

Lantas bagaimana caranya agar kita tidak semakin larut dalam kesedihan dan menyalahkan diri? Salah satu hal yang dapat dilakukan ialah dengan mencoba untuk memaafkan diri atas apa yang terjadi. 

Mungkin kita berpikir, “Mengapa kita perlu memaafkan diri? Toh, orang yang kita kecewakan tidak mendapatkan apa-apa dan tidak ada yang berubah.” Tahukah kamu? Bila kita tidak memaafkan diri kita, kita akan membawa perasaan bersalah atau rasa malu yang kita miliki pada setiap tindakan yang kita lakukan di kemudian hari. Apabila kita terus membawa perasaan tersebut, tentunya akan merugikan diri sendiri dan orang lain. Memaafkan diri dapat membantu kita untuk memulihkan perasaan negatif yang kita bawa sehingga kita bisa melangkah lebih positif di kemudian hari (Engel, 2017).

Memaafkan diri adalah perubahan sikap positif dalam perasaan, tindakan, dan keyakinan tentang diri atas pelanggaran yang dilakukan oleh diri atau pun kesalahan yang dilakukan oleh diri (Enright, 1996). Melihat pengertian ini, memaafkan diri dapat dilihat sebagai cara kita untuk membantu diri memulihkan perasaan negatif terhadap diri dan melindungi kesejahteraan diri kita dari efek rasa bersalah, malu, dan penyesalan yang hadir.

Ternyata, memaafkan diri memiliki manfaat bagi diri kita. Dengan memaafkan diri, kita bisa lebih menerima diri kita (McGaffin, Lyons, & Deane, 2013), meningkatkan self-esteem kita, menurunkan tingkat kecemasan dan depresi (Mauger, Perry, Freeman & Grove, 1992), memiliki pengaruh yang positif terhadap terhadap kesejahteraan diri kita (Worthington, Witvliet, Pietrini, & Miller, 2007), serta menurunkan tingkat prokrastinasi (Wohl, Pychyl & Bennett, 2010).

Lantas bagaimana cara memaafkan diri?

Brandt (2020) memberikan beberapa langkah memaafkan diri:

  1. Menerima apa yang telah kita lakukan

Dengan menerima apa yang telah kita lakukan dan mempertanggungjawabkan tindakan serta konsekuensinya, kita dapat mulai memaafkan diri.

  1. Pahami alasan kita melakukan kesalahan 

Cobalah kita ingat bagaimana kronologi kejadian yang membuat kita merasa bersalah. Lakukan kegiatan ini dengan penuh kasih namun bertanggung jawab. Hindari untuk memberikan alasan dan pembenaran atas tindakan kita. Hindari pula untuk menghakimi diri. 

  1. Belajar dari kesalahan kita. 

Setelah mempertimbangkan dengan hati-hati peristiwa tersebut dan bagaimana konsekuensinya, kita telah belajar sesuatu dari kesalahan kita. Kita dapat merefleksikan apa yang telah kita pelajari dan bagaimana pelajaran itu membantu kita berkembang dan mengubah diri kita.

  1. Mengakui kesalahan.

Tidak ada salahnya untuk meminta maaf kepada orang yang kita lukai. Komunikasikan kepadanya bahwa kita memahami apa yang telah kita lakukan terhadap mereka dan meminta maaf. Permintaan maaf yang tulus tidak bergantung pada seberapa sakit perasaan orang lain, tetapi pada seberapa paham kita terhadap tindakan kita, “Aku minta maaf atas apa yang saya lakukan.”

  1. Maafkan dirimu. 

Katakan, “Aku memaafkan diriku atas kesalahan yang telah aku perbuat, dan aku mengizinkan diriku untuk melangkah maju menjalani hidupku dengan diri yang lebih baik.”

Mari mencoba memaafkan diri. Tidak ada manusia yang sempurna. Semua orang pernah berbuat salah. Mari perlahan-lahan dan tidak perlu tergesa-gesa memaafkan diri. Izinkan diri untuk melepas energi negatif yang ada dan hidup lebih damai. “Untuk aku, aku memaafkanmu. Untuk aku, aku mengizinkanmu berdamai dengan diri dan kesalahanku.”

Referensi

Brandt, A. (2020). Healing Guilt: 7 Steps to Self-Forgiveness. Psychology Today. https://www.psychologytoday.com/us/blog/mindful-anger/202006/healing-guilt-7-steps-self-forgiveness 

Engel, B. (2017). Healing your Shame and Guilt Through Self-Forgiveness. Psychology Today. https://www.psychologytoday.com/us/blog/the-compassion-chronicles/201706/healing-your-shame-and-guilt-through-self-forgiveness 

Enright, R. D. (1996). Counseling within the forgiveness triad: On forgiving, receiving forgiveness, and self‐forgiveness. Counseling and values, 40(2), 107-126.

Mauger, P. A., Perry, J. E., Freeman, T., & Grove, D. C. (1992). The measurement of forgiveness: Preliminary research. Journal of Psychology and Christianity.

McGaffin, B. J., Lyons, G. C., & Deane, F. P. (2013). Self-forgiveness, shame, and guilt in recovery from drug and alcohol problems. Substance abuse, 34(4), 396-404.

Pierro, A., Pica, G., Giannini, A. M., Higgins, E. T., & Kruglanski, A. W. (2018). ” Letting myself go forward past wrongs”: How regulatory modes affect self-forgiveness. PloS one, 13(3), e0193357.

Wohl, M. J., Pychyl, T. A., & Bennett, S. H. (2010). I forgive myself, now I can study: How self-forgiveness for procrastinating can reduce future procrastination. Personality and Individual Differences, 48(7), 803-808.

Worthington, E. L., Witvliet, C. V. O., Pietrini, P., & Miller, A. J. (2007). Forgiveness, health, and well-being: A review of evidence for emotional versus decisional forgiveness, dispositional forgivingness, and reduced unforgiveness. Journal of behavioral medicine, 30(4), 291-302.

Penulis: Sekar Aulia Winesa

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Open chat
💬 Ada yang bisa kami bantu kak?
Hi Kak👋
Ada yang bisa kami bantu?