Happiness Is (Actually) from Within

“Kak, kenapa, sih, dunia ini sangat jahat, ingin rasanya berbahagia sebentar saja, udah digampar sama kesedihan.” —RFI, 18 tahun. 

Kedamaian adalah hal penting yang kita butuhkan untuk menjalani hidup sehari-hari dengan baik, bahkan optimal. Dengan adanya perasaan damai dan tenang, segala tugas dan kewajiban dalam rutinitas sehari-hari dapat kita selesaikan dengan rapi, bahkan memuaskan. Tertanamnya rasa tenteram ini bukan tidak mungkin akan berdampak pada kesehatan mental dan fisik kita. Sebab, pada dasarnya, kondisi mental seseorang akan selalu berhubungan dengan keadaan fisiknya. Di dalam sebuah artikel Psychology Today, disebutkan bahwa “stres psikologis dapat menyebabkan gejala fisik, tidak hanya somatisasi (proses psikis), tetapi juga melibatkan sistem saraf, endokrin, dan kekebalan yang merupakan proses fisik” (Burton, 2020). Oleh karenanya, jika kita ingin hidup sehat, melakukan kegiatan fisik seperti berolahraga itu sah-sah saja. Namun, alangkah lebih baik apabila kondisi psikis diri kita juga diperhatikan. 

Kebahagiaan juga kenikmatan sudah pasti menjadi tujuan hidup tiap insan. Namun, terkadang, hidup memang penuh lika-liku. Layaknya sebuah slogan makanan ringan, “Life is never flat”, hidup tidak dapat dipisahkan dari permasalahan. Mereka seolah telah menyatu, membentuk sebuah harmoni kehidupan dengan manusia sebagai komposernya. Serupa dengan konsep Yin dan Yang dalam ajaran Taoisme, eksistensi kebahagiaan dan permasalahan hidup manusia ada dalam takaran yang seimbang. Seperti yang sering kita lihat, bentuk Yin dan Yang adalah “dua buah ikan berwarna hitam dan putih yang berada dalam satu lingkaran” (Idaa, 2013). Kedua ikan tersebut melambangkan dua hal yang saling bertolak belakang, maka, penerapannya haruslah seimbang dalam kehidupan. 

Dunia ini tidak sepenuhnya jahat dan tidak selamanya baik, seperti yang telah dipaparkan sebelumnya pada konsep Yin dan Yang. Jika kita merasa permasalahan yang ada sangat membebani pikiran, hendaknya kita berhenti sejenak untuk mengambil napas. Ibarat dinding-dinding benteng diri kita sudah mulai retak karena digempur serangan musuh, ada baiknya kita berhenti melakukan penyerangan dan memutar otak untuk mencari tempat aman. Konsep perumpamaan tersebut mampu mewakili hal kedamaian; ada saatnya kita bertahan dan melakukan offense. Namun, ada pula saat-saat dimana kita harus berhenti dan mengambil sikap defense. Tidak ada yang salah dalam mengistirahatkan pikiran sejenak dari segala permasalahan yang ada. Karena, pada dasarnya, berhenti sejenak dan meluapkan semuanya—termasuk menangis—mampu membantu mengeluarkan berbagai energi negatif yang sedang bersarang dalam diri kita dan menggantinya dengan energi positif. Layaknya aliran intuisionisme dalam filsafat, istirahat atau berhenti sejenak itu sangat penting. Sebab, dari sanalah sepercik intuisi hadir. Suatu aktivitas berpikir yang tidak didasarkan pada penalaran dan perasaan yang membawa diri kita untuk mampu mengetahui maupun mengerti sesuatu (Saury, 2015). Jika diri kita merasa ingin menangis pun, tidak masalah. Sebab, Jean Kim M. D di dalam artikelnya menyebut bahwa “menangis dapat memberikan efek katarsis (KBBI: cara pengobatan orang yang berpenyakit saraf dengan membiarkannya menuangkan segala isi hatinya dengan bebas.) dan membuka jalan penyembuhan untuk mampu bergerak maju dan meninggalkan berbagai kejadian traumatik di belakang” (Kim, 2020). 

Perasaan damai dan tenteram memang tidak mudah untuk selalu kita dapatkan. Namun, ada beberapa hal yang mungkin dapat membantu Anda merasakan perasaan damai tersebut. Berikut langkah-langkah yang dapat Anda gunakan untuk memeroleh perasaan damai dan tenteram:

  1. Menetapkan batasan emosional dan fisik terhadap orang-orang toxic.

Orang-orang yang ada di sekitar kita dapat memengaruhi cara kita berpikir, merasa, dan bertindak. Terlibat dengan seseorang atau sekelompok orang yang suka berbohong, bergosip, melakukan perundungan, maupun menipu akan merusak diri kita sendiri pada akhirnya. Maka, penting apabila kita tetap menetapkan batasan fisik dan emosional, bukan serta-merta menghindari orang tersebut at all.

  1. Kendalikanlah sesuatu yang mampu kita kendalikan.

Terlalu sering memikirkan segala sesuatu, alias overthinking, akan berdampak pada cara kita memandang diri kita dan lingkungan sekitar. Kita tidak selalu bisa mencegah hal-hal buruk terjadi. Oleh karenanya, daripada “hanya” memikirkan sesuatu yang jauh di luar kemampuan kita, sebaiknya kita take action terhadap segala sesuatu yang mampu kita kendalikan atau perbaiki (Morin, 2018). Sebagai contoh, kita tidak bisa mengubah orang yang membenci kita menjadi suka dengan kita, maka, hal yang seharusnya kita lakukan ialah berfokus pada diri kita dan senantiasa mengasah bakat dan keterampilan yang kita miliki.

  1. Melakukan sesuatu hal yang disukai.

Kita tentu merasa senang apabila melakukan hal-hal yang kita suka. Jika kita merasa bosan dengan rutinitas, selingan-selingan seperti melakukan berbagai hal yang kita cintai akan menjadi obat, tidak hanya bagi fisik, tetapi juga psikis kita.

  1. Kebahagiaan sejatinya berasal dari diri kita sendiri.

Satu larik dalam sebuah lagu berbunyi, “Hati yang gembira adalah obat” dan pemilik dari hati tersebut adalah diri kita sendiri. Kita, tidak lain dan tidak bukan, adalah obat bagi diri kita sendiri. Namun, sayang, tidak banyak orang mengetahui hal ini. Sejauh apapun kita melangkah untuk mencari “kebahagiaan”, maka, sesungguhnya, ia sudah lebih dulu ada dalam diri kita. Hanya saja, ia “tertimbun” oleh pemikiran-pemikiran dan definisi-definisi “kebahagiaan” yang bahkan bukan milik kita. 

“Tak perlu berkelana hingga ujung dunia,

‘pabila ternyata, kebahagiaan dan kedamaian sudah ada di tangan kita.”

Referensi:

Burton, Neel. 2020. “Why Mental Health Is Even More Important Than We Think”, (Online), (https://www.psychologytoday.com/us/blog/hide-and-seek/202010/why-mental-health-is-even-more-important-we-think , diakses pada 4 Februari 2021).

Idaa, Ayda. 2013. “Filosofi Yin dan Yang (Ajaran Taoisme) yang Berumur Ribuan Tahun”, (Online), (https://www.kompasiana.com/aydaidaa/filosofi-yin-dan-yang-ajaran-taoisme-yang-berumur-ribuan-tahun_551b62ec813311c67f9de709 , diakses pada 3 Februari 2021).

 Kim, Jean. 2020. “When Crying Is Good for You”, (Online), (https://www.psychologytoday.com/us/blog/culture-shrink/202003/when-crying-is-good-you?amp#aoh=16124037986821&referrer=https%3A%2F%2Fwww.google.com&amp_tf=Dari%20%251%24s , diakses pada 4 Februari 2021).

Morin, Amy. 2018. “How Mentally Strong People Find Inner Peace”, (Online) (https://www.psychologytoday.com/us/blog/what-mentally-strong-people-dont-do/201811/how-mentally-strong-people-find-inner-peace , diakses pada 4 Februari 2021).

Saury, Rahmatul Ummah As. 2015. “Intuisionisme Sebagai Sumber Pengetahuan”, (Online), (https://www.kompasiana.com/rahmatul.ummah/intuisionisme-sebagai-sumber-pengetahuan_56219817187b613d048b4568 , diakses pada 4 Februari 2021). 

Penulis: Teshalonika Putri Eklesia Thenu

1 thought on “Happiness Is (Actually) from Within”

  1. Saya mengalami toxic relationship dalam keluarga. Tiada hari tanpa hinaan kata-kata yang terus saja dilontarkan. Sesekali saya menangis atas keadaan yang menimpa saya, saya cukup melakukan aktifitas yang saya sukai, seperti olahraga, menonton film, mendengarkan musik yang saya sukai, bahkan sampai sering pergi main di kota. Tapi itu semua tak cukup rasanya untuk menghilangkan rasa kesal, marah, dan sebagainya. Sampai pada akhirnya saya menjadi orang yang cuek dan jutek terhadap masalah yang menimpa saya, terutama dalam hubungan keluarga, malas untuk berbicang-bincang, bahkan enggan untuk berbicara. Bertindak bodo amat terhadap hal tidak saya sukai adalah hal yang sering saya lakukan. Di luar mungkin saja, saya dibilang perempuan yang paling bahagia, yang tidak pernah terkenal masalah. Tapi itu semua ZONK, saya memiliki banyak masalah, hanya saja saya tidak terlalu memikirkannya. Sekali lagi saya tekankan saya “bodo amat” dan saya sudah muak dengan hidup saya. Sesekali berpikir untuk bunuh diri, sesekali berpikir untuk cepat dicabut nyawa saya. Saya tidak tau apa yang harus saya lakukan, jika sesuatu (tugas kuliah) datang ya saya kerjakan. Ya begitu saja tidak muluk-muluk, tidak berlebihan dalam menanggapi suatu hal. Satu hal yang ingin saya ucapkan untuk rekan-rekan “Edi Junaedi”, thank you so much, you all are really my support system.
    Bagaimana? Apakah saya sudah gila?
    Thanks for reading 🙂
    For the writer, you know who I am 🙂

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Open chat
💬 Ada yang bisa kami bantu kak?
Hi Kak👋
Ada yang bisa kami bantu?