Melakukan Self-Diagnosis, bahayakah?

“Aku mendiagnosa diriku mungkin depresi/bipolar/sejenisnya. Aku merasa hidup ini ga ada gunanya, jadi beban semua orang, dan aku ngerasa kayak ga ada pegangan lagi untuk bertahan hidup.” – NMD, wanita, 20 tahun

“Kata teman online, saya mengalami depresi ringan. Saya trauma mengenal orang-orang, sahabat yang sudah akrab pun saya masih merasa takut dan was-was” – T, wanita, 17 tahun

“Depresi karena tugas daring, masa lalu, trauma, cemas, dan takut” – AN, Wanita 16 tahun

“Aku ga tau mau cerita sama siapa lagi, aku merasa tertekan dan aku sudah lama depresi, udah ga ada yang bisa dipercayai lagi” – DG, wanita 14 tahun

Seringkali kamu mengeluhkan sesuatu dan bertanya-tanya “sebenarnya aku ini kenapa, sih?”. Lalu karena rasa ingin tahu yang besar, kamu membuka mesin pencari google untuk mendapat informasi. Setelah ditelusuri lebih dalam, kamu menemukan penyakit dengan keluhan yang sama dan mendiagnosa bahwa kamu mengidap penyakit tersebut. Misalnya, kamu sakit perut, lalu kamu mencari di google dan menemukan bahwa sakit perut adalah gejala penyakit usus buntu, tapi benarkah semua sakit perut itu usus buntu? Tentu tidak, salah satu alasannya karena informasi yang ada di google itu sifatnya general dan mentah, sehingga kamu tetap membutuhkan bantuan profesional untuk sampai mendapat diagnosis. Sama hal nya seperti penyakit mental, ketika kamu mengalami mood swing belakangan ini, kemudian serta merta  mendiagnosis dirimu sendiri memiliki penyakit bipolar ya! Karena untuk mendapatkan diagnosis gangguan psikologis dibutuhkan waktu lama dan proses yang tidak semudah kamu membaca informasi di google. Faktanya, dengan begitu banyak informasi di google, kamu mungkin tergoda untuk tidak pergi psikiater atau psikolog dan berpikir untuk apa repot-repot menjadwalkan janji dengan profesional padahal kamu bisa mencari informasi sendiri. 

Lalu, apa itu Self-Diagnosis?

Self-Diagnosis adalah upaya mendiagnosis diri sendiri berdasarkan informasi yang didapatkan secara mandiri dari sumber-sumber yang tidak profesional, misalnya internet, teman atau keluarga, bahkan pengalaman di masa lalu. Self-Diagnosis itu berbahaya, karena tidak mungkin menghasilkan jawaban yang nyata. Ada tiga kelemahan utama dalam Self-Diagnosis:

  1. Memiliki informasi yang kurang dan tidak terbatas, tidak membuatmu memiliki pengalaman dan pelatihan yang sama seperti profesional yang sudah berkali-kali melakukan diagnosis.
  2. Sulit untuk melihat dirimu secara obyektif dan sulit untuk memahami cara kerja pikiranmu sendiri, karena memberi perspektif luar adalah bagian dari pekerjaan profesional. Itu sebabnya bahkan psikiater tidak boleh mendiagnosis diri sendiri.
  3. Dari sudut pandang praktis, kamu tidak dapat mengobati diri sendiri ketika melakukan Self-Diagnosis. Lagi pula, kamu tidak dapat meresepkan obat sendiri dan kamu tidak punya rujukan dari siapapun jika kemungkinan penyakitmu bertambah parah.

Selain itu, apa bahaya dari Self-Diagnosis?

  1. Merasa mengetahui seluk-beluk diagnosis. Ini bisa sangat berbahaya, karena kamu tidak dapat menduga apa yang sedang kamu alami sebenarnya. Misalnya, orang dengan mood swing berpikir bahwa mereka menderita penyakit bipolar. Namun, mood swing adalah gejala yang dapat menjadi bagian dari banyak gejala klinis lainnya, seperti borderline personality disorder atau depresi berat.
  2. Melewatkan penyakit medis yang ‘menyamar’ sebagai gangguan mental. Misalnya, kamu mengalami gangguan panik, kamu mungkin melewatkan diagnosis hipertiroidisme atau detak jantung tidak teratur. Faktanya penyakit tumor otak juga dapat memunculkan gejala seperti perubahan kepribadian atau bahkan depresi. Jadi intinya bisa jadi kamu mengidap penyakit medis daripada penyakit mental, dan karena kamu berasumsi bahwa kamu memiliki gangguan mental, penyakit medis yang kamu miliki malah tidak ditangani dengan segera. 
  3. Mengabaikan peran psikolog/psikiater.  Seperti memberi perspektif luar, peran psikolog/psikiater juga adalah untuk mengetahui dan melihat diri sendiri, karena kita membutuhkan cermin untuk melihat diri kita dengan lebih jelas. Psikolog/psikiater adalah cermin itu. Dengan melakukan Self-Diagnosis, kamu mungkin kehilangan sesuatu yang tidak dapat dilihat namun akan terlihat oleh profesional. Misalnya, kamu merasakan kecemasan dan berpikir bahwa kamu mengalami gangguan kecemasan, padahal kecemasan yang kamu alami hanya menutupi gangguan depresi mayor yang sebenarnya kamu alami.
  4. Memicu gangguan kesehatan yang lebih parah. Self-Diagnosis terkadang dapat memicu timbulnya gangguan kesehatan yang sebenarnya tidak kamu alami. Misalnya, saat ini kamu mengalami insomnia atau stres berkepanjangan. Masalah sebenarnya bukanlah gangguan psikologis seperti depresi. Namun, karena informasi yang kamu dapatkan dari berbagai sumber menyatakan bahwa insomnia dan stres menandakan masalah depresi dan gangguan tidur, kamu akan terus merasa khawatir dan malah berisiko mengalami depresi yang tadinya tidak ada.

Self-Diagnosis dapat menimbulkan dampak negatif yang luar biasa. Oleh karena itu, jika kamu sedang merasa tidak baik-baik saja, segeralah konsultasikan dengan profesional. Kamu juga harus lebih bisa memilah lagi informasi yang kamu dapatkan dari berbagai sumber agar kamu tidak menjadi dokter bagi dirimu sendiri dan melakukan Self-Diagnosis.

Reference:

https://psychcentral.com/blog/dont-self-diagnose-but-do-self-refer#2

https://www.whiteswanfoundation.org/mental-health-matters/understanding-mental-health/self-diagnosing-of-mental-illness

https://www.psychologytoday.com/us/blog/debunking-myths-the-mind/201005/the-dangers-self-diagnosis

Penulis: Ainaya Rahmadila

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Open chat
💬 Ada yang bisa kami bantu kak?
Hi Kak👋
Ada yang bisa kami bantu?