Berdamai dengan Masa Lalu untuk Masa Depan yang Gemilang

“Gimana caranya supaya nggak berlarut-larut dalam penyesalan?” —A, 20 tahun.

Setiap orang dapat dipastikan pernah merasakan penyesalan. Hal ini biasa terjadi ketika kita—dengan sengaja maupun tidak—melakukan sesuatu yang sebetulnya tidak kita inginkan. Rasa menyesal memang lumrah terjadi. Sebab, itu adalah pertanda bahwa kita masih memiliki simpati terhadap diri sendiri maupun orang lain. Ibarat kata, kita masih tahu diri dari kesalahan yang sudah kita perbuat. Namun, apa yang terjadi jika rasa menyesal terus menumpuk dalam dada, hingga berakhir dengan menyalahkan diri kita sendiri? 

Rasa penyesalan yang dirasakan oleh hampir seluruh individu di dunia ini sesungguhnya memiliki sisi positif tersendiri. Seorang praktisi psikologi, Melanie Greenberg, pun mengatakan hal yang sama. Ia berpendapat, rasa sakit yang ditimbulkan dari adanya penyesalan dapat membuat seseorang mengatur ulang fokusnya dan mengambil tindakan korektif atau mengejar jalan baru (Greenberg, 2012). Berdasarkan pendapat tersebut, dapat kita pahami bahwa, dengan mengacu pada masa lalu atau belajar dari kesalahan-kesalahan kita di masa lalu, kita dapat mengatur ulang strategi dalam berpikir maupun bertindak. Kita menjadi lebih berhati-hati terhadap segala sesuatu yang kita lakukan agar tidak merugikan diri sendiri dan orang lain. Selain itu, terdapat beberapa dampak positif lain, seperti mengetahui ukuran kemampuan diri (membuat kita semakin mengenal diri kita sendiri) dan mempunyai sudut pandang baru (Kusuma, 2020). Namun, rasa menyesal yang berlarut-larut juga tidak baik, lho, Teman-teman. Overthinking terhadap sesuatu yang mustahil diulang kembali mengakibatkan hal-hal negatif bermunculan, seperti depresi, tidak memiliki semangat hidup, hingga menyalahkan diri sendiri yang dapat berujung pada self-harm. Lalu, bagaimana cara untuk menghilangkan rasa menyesal yang sudah berlarut-larut ini?

Eits, tunggu dulu! Mari kita ganti kata “menghilangkan” menjadi “berdamai”, bagaimana? Sebab, pada dasarnya, semakin kita mencoba melupakan atau menghilangkan rasa penyesalan, semakin melekat pula rasa itu dengan diri kita. Oleh karena itu, instead of menghilangkan atau melupakan rasa sesal, sebaiknya, kita berusaha damai dengannya. Yuk, simak beberapa tip di bawah!

  1. Menerima kesalahan.

Penerimaan terhadap kesalahan dan rasa sesal akan membuat kita lebih mengenal diri sendiri, seperti mengetahui kekuatan dan kelemahan yang kita miliki, sehingga kita dapat mengevaluasi diri untuk meminimalisir kegagalan maupun kesalahan agar tidak terulang lagi di kemudian hari (Kusuma, 2020).

  1. Memanfaatkan aspek fungsional.

Penyesalan, layaknya semua emosi, memiliki fungsi untuk kita bertahan hidup. Maksudnya bagaimana, tuh? Rasa menyesal termasuk salah satu cara otak  memberi tahu kita untuk menilik kembali pilihan-pilihan yang sudah kita buat. Ia ibarat satelit yang memberikan sebuah sinyal atau hint konsekuensi dari berbagai pilihan kita (Greenberg, 2012). Jadi, yuk, jangan abai jika kita menerima sinyal ini. Jangan menyerah, ya! Tuhan hanya tidak ingin kita berjalan di jalan yang salah. Maka, melalui rasa penyesalan ini, kita dituntun untuk berpikir panjang dalam melakukan hal-hal yang akan kita lakukan di masa kini. 

  1. Mengubah self-talk negatif menjadi positif.

Perkataan-perkataan seperti, “Ah, semua salahku.”, “Kok aku bodoh banget, sih?!”, “Gagal lagi, gagal lagi!”, merupakan timah panas yang akan membunuh diri kita sendiri. Jika hal tersebut dibiarkan, ia akan terus mengoyak diri kita hingga habis tak bersisa. Karenanya, kita patut mengubahnya menjadi, “Oke, gapapa, aku coba lagi.”, “Semangat diriku!”, dan jangan lupa, tiap kita selesai mengerjakan sesuatu—terlepas dari hasil yang memuaskan atau tidak—berilah dirimu self-reward sederhana, seperti “Wah, mantap, udah kelar. Ternyata, aku bisa, ya.”. Itu akan membuat diri kita lega dan bersemangat untuk mengerjakan pekerjaan selanjutnya.

  1. Menemukan sudut pandang baru.

Kita patut menerapkan pemikiran bahwa hidup adalah sebuah perjalanan dan setiap orang pernah berbuat salah. Ketika kita sudah mampu menerima kesalahan maupun kegagalan, kita pasti juga mulai menelusuri letak kesalahan atau kegagalan itu. Dari situlah, kita mampu mempelajarinya, sehingga kita dapat membuat keputusan maupun melakukan tindakan yang tepat di kemudian hari. 

Masa lalu tidak dapat diulang kembali. Kita hanya perlu hidup untuk masa kini dan masa yang akan datang. Kita sudah tidak mampu membenahi hal-hal yang terjadi di masa lalu.  Mereka bukan dalam kendali kita lagi. Ia sudah lewat, dan digantikan dengan masa yang baru. Tampaknya, sebuah lagu dari salah satu grup band Korea berjudul “Life Goes On”, benar adanya. Berikut penggalan refrain lagu tersebut:

Like an echo in the forest

(Seperti gema di tengah hutan)

Haruga doraogetji

(Hari itu akan kembali)

Amu ildo eopdan deusi

(Seolah tidak terjadi apa-apa)

Yeah, life goes on

(Ya, hidup terus berjalan)

Like an arrow in the blue sky

(Seperti anak panah di langit biru)

Tto haru deo naragaji

(Hari lain terbang)

On my pillow, on my table

(Di atas bantalku, di atas mejaku)

Yeah, life goes on like this again

(Ya, hidup terus berjalan)

(Alpian, 2020).

Bagian refrain lagu tersebut seolah ingin menegaskan kepada para pendengarnya bahwa hari terus berganti, tidak peduli apakah kita siap atau tidak. Karenanya, daripada terus-menerus menyesali segala hal yang telah terjadi di hari kemarin, ada baiknya kita berfokus pada hal-hal yang sedang kita kerjakan di masa kini untuk menyongsong masa depan yang kita inginkan. 

Referensi:

Alpian, Muhamad. 2020. “Lirik ‘Life Goes On’—BTS, Lengkap Terjemahan Indonesia, Inggris”, (Online), (https://www.sonora.id/read/422435944/lirik-life-goes-on-bts-lengkap-terjemahan-indonesia-inggris , diakses pada 8 Februari 2021).

Greenberg, Melanie. 2012. “The Psychology of Regret”, (Online), (https://www.psychologytoday.com/us/blog/the-mindful-self-express/201205/the-psychology-regret , diakses pada 8 Februari 2021).

Kusuma, Ade Chandra Gita. 2020. “Penyesalan Tidak Selamanya Buruk: Cara Memaafkan Diri Sendiri”, (Online), (https://satupersen.net/blog/dampak-positif-akibat-penyesalan , diakses pada 9 Februari 2021).

Pramono, Eric. 2016. “Menyesal itu Boleh, tapi…”, (Online), (http://ciputrauceo.net/blog/2016/1/28/menyesal-itu-boleh-tapi , diakses pada 9 Februari 2021). 

Penulis: Teshalonika Putri Eklesia Thenu

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Open chat
💬 Ada yang bisa kami bantu kak?
Hi Kak👋
Ada yang bisa kami bantu?