SELF-DIAGNOSE

“Kok mood aku sering berubah-ubah ya? Kayanya aku bipolar deh” 

“Aku ngerasa relate banget sama Joker, jangan-jangan aku skizo juga?”

Apakah kamu sering mendengar kata-kata seperti itu? Jika iya, apakah kamu tahu kalau kata-kata tersebut merupakan salah satu bentuk dari self-diagnose? Tapi sebenarnya self-diagnose itu apa, sih?

Nah, self-diagnose itu merupakan istilah yang digunakan ketika kita mendiagnosis atau mengidentifikasi kondisi kesehatan diri kita berdasarkan pengalaman maupun sumber-sumber lainnya yang kita dapatkan secara mandiri. Salah satu sumber yang paling sering digunakan untuk mengumpulkan informasi terkait kesehatan adalah internet. Melalui internet, berbagai informasi terkait kesehatan mental dapat kita akses secara cepat dan mudah sehingga semakin mendorong kita untuk melakukan self-diagnose ketika kita merasakan suatu gejala tertentu. Survei yang dilakukan terhadap 2.140 warga Amerika menemukan bahwa sebanyak 65% individu mencoba untuk melakukan diagnosis terhadap dirinya sendiri dengan menggunakan hasil penemuannya di Google. 

“Lalu apakah sebenarnya kita tidak boleh melakukan self-diagnose?”

Diagnosis terhadap suatu gangguan mental ini sendiri pada dasarnya harus dilakukan oleh psikolog maupun ahli di bidang psikologi atau psikiatri. Hal ini dilakukan karena banyak sekali gangguan mental yang memiliki kesamaan ciri dan gejala yang sulit untuk dibedakan oleh masyarakat awam sehingga diagnosis yang dilakukan oleh ahli tentunya akan jauh lebih tepat. Selain itu, melakukan self-diagnose juga akan memberikan beberapa dampak negatif lainnya, seperti:

  1. Menimbulkan rasa cemas berlebih 

Ketika kamu melihat hasil pencarian dari gejala yang kamu rasakan di internet atau media lainnya, apakah kamu pernah menjadi merasa takut atau cemas? Jika iya, biasanya hal ini terjadi karena informasi yang muncul menggiring kita untuk mempercayai bahwa gejala yang kamu rasakan merupakan gejala dari suatu gangguan mental yang berat, misalnya depresi atau bipolar.

  1. Pengabaian gejala-gejala yang dirasakan

Berkebalikan dengan menimbulkan rasa cemas, melakukan diagnosis terhadap diri sendiri juga dapat menyebabkan kita mengabaikan gejala-gejala yang sebenarnya kita alami namun tidak kita sadari. Padahal mungkin saja gejala tersebut dapat menjadi petunjuk penting untuk mengetahui kondisi kesehatan mental kita yang sebenarnya, misalnya pada orang-orang yang mengalami gangguan delusi biasanya mereka tidak melaporkan bahwa mereka mengalami delusi karena delusi yang mereka alami tidak dirasa benar-benar nyata terjadi.

  1. Kesalahan dalam memilih pengobatan 

Ketika kita melakukan self-diagnose, kita akan semakin terdorong untuk mencari dan melakukan pengobatan secara mandiri tanpa tahu efek samping maupun keefektifan dari pengobatan tersebut. Hal ini tentu akan sangat berbahaya karena pengobatan yang kita lakukan tanpa adanya saran maupun pengawasan dari ahli mungkin saja dapat membahayakan nyawa kita, misalnya mengonsumsi obat-obatan yang tidak sesuai aturan sehingga menyebabkan overdosis.

  1. Penolakan terhadap diagnosis dari psikolog atau ahli

Dengan melakukan self-diagnose, kita akan memiliki bayangan tersendiri mengenai kondisi kesehatan mental kita sehingga kita akan sulit untuk menerima dan mempercayai diagnosis dari ahli. Selain itu, kita juga akan semakin sulit untuk menerima dan mau menjalani pengobatan yang disarankan oleh ahli. Hal ini tentu saja akan memperburuk kondisi kesehatan mental kita.

Nah jika kamu merasakan suatu gejala, seperti cemas, sedih, maupun gejala-gejala lainnya yang sudah dirasa mengganggu aktivitas sehari-harimu, maka sebaiknya kamu menghubungi atau bertanya pada psikolog atau ahlinya ya agar gejala yang kamu rasakan dapat diidentifikasi dan didiagnosis dengan tepat serta pengobatan yang kamu lakukan menjadi lebih tepat guna.

Selain itu, kamu juga masih tetap dapat memanfaatkan informasi mengenai gangguan mental yang beredar di internet untuk hal-hal berikut:

  1. Memperdalam pengetahuan kamu mengenai gangguan mental yang memang kamu idap berdasarkan hasil diagnosis yang telah dilakukan oleh psikolog atau ahli.
  2. Memberikan gambaran mengenai berbagai alternatif pengobatan yang dapat kamu diskusikan lebih lanjut dengan psikolog maupun ahli yang merawatmu. 

Jadi, mari bijak dalam memanfaatkan informasi yang tersedia di internet yuk dan jangan takut untuk melakukan konsultasi dengan psikolog atau ahli ya agar kita tidak jatuh ke dalam dampak negatif dari self-diagnose.

Penulis: Shafira Rahmadianti

Referensi

Johnson, S. (2019, November 15). ‘Cyberchondria’: 40% of Americans have misdiagnosed themselves online. Big Think. https://bigthink.com/health/self-diagnosis/

Pillay, S. (2010, Mei 03). The Dangers of Self-Diagnosis. Psychology Today. https://www.psychologytoday.com/us/blog/debunking-myths-the-mind/201005/the-dangers-self-diagnosis

Saleh, N. (2021, September 11). The Risks of Using the Internet to Self-Diagnose. Verywell Health. https://www.verywellhealth.com/perils-of-using-the-internet-to-self-diagnose-4117449

Thatcher, D. T. (2021, Januari 12). Dangers of Self Diagnoses. Highland Springs. https://highlandspringsclinic.org/blog/dangers-of-self-diagnoses/

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Open chat
💬 Ada yang bisa kami bantu kak?
Hi Kak👋
Ada yang bisa kami bantu?