Revictimization: Mengapa Seseorang Sulit Keluar dari Toxic Relationship?

man in gray crew neck long sleeve shirt standing beside woman in black crew neck shirt

Aku baru saja putus hubungan setelah 4 tahun berpacaran. Saat itu kami sedang meributkan hal tentang kekerasan fisik yang sering kali dia lakukan ke aku, bukan hanya fisik tapi mental juga, perkataan kasarnya atau perkataan dia yang seringkali menyinggung aku.” -RPD, Wanita 21 tahun

Apa kalian memiliki teman yang terjebak di toxic relationship? Atau malah kalian sendiri yang pernah atau sedang terjebak di dalamnya? Pernah tidak kalian berpikir, kenapa seseorang yang terjebak di dalam toxic relationship terkadang kesulitan keluar dari hubungannya? Apa mereka tidak sadar bahwa hubungannya tidak sehat? Atau, seberapa besar sih, rasa sayang yang mereka miliki hingga dapat mengalahkan racun-racun di dalamnya?

Sebelum kita bahas lebih lanjut, mari kita bayangkan dulu para penerjun payung amatir.

  Saat akan terjun pertama kali, mereka memiliki rasa takut ketika harus melompat dari ketinggian beribu kaki di atas permukaan laut. Kemudian, S. Epstein pada tahun 1967 menemukan bahwa para penerjun payung ini semakin tidak takut dengan lompatan yang telah berulang kali mereka lakukan, bahkan mereka mulai menunjukkan reaksi gembira setelah melompat. Pola ini ada di dalam teori “Proses-Berlawanan” milik Ridhard Solomon. Ridhard Solomon berpendapat bahwa otak manusia berfungsi memicu emosi. Sebuah kejadian emosional memunculkan dua respon, yakni primer (reaksi normal yang pertama kali timbul) dan sekunder (reaksi lanjutan ketika sebuah kejadian mengalami perulangan). Dalam kasus para penerjun payung amatir ini, rasa takut merupakan emosi primer dan rasa gembira merupakan emosi sekunder.

Terus, apa sih hubungannya sama toxic relationship?

Dalam kasus toxic relationship, pola emosional ini serupa dialami oleh para korban. Ketika para korban disakiti oleh pasangannya, timbul reaksi serta respon natural berupa sakit hati, perasaan tidak dihargai, merasakan penolakan, dan emosi-emosi negatif lainnya. Akan tetapi, jika hubungan terus berlanjut dengan pola konflik yang sama (minta maaf-mengulangi kesalahan) bagai lingkaran tiada ujung, korban akan merasakan hal yang sebaliknya. Seperti para penerjun payung amatir yang berkali-kali melompat dari pesawat, para korban toxic relationship yang berkali-kali disakiti pasangannya akan menimbulkan emosi sekunder yang berlawanan dari rasa sakit yang pertama kali dihasilkan. Emosi sekunder tersebut dapat berupa pewajaran sikap abusive hingga rasa sayang yang malah timbul semakin besar.

Istilah ini juga dikenal dengan revictimization, suatu keadaan di mana para korban abusive relationship berulang kali mengalami hal-hal kekerasan yang serupa dan terjebak dalam lingkaran setan yang sama. Rasanya seperti tulisan, “abuse me!” menempel di punggung para korban yang mengalaminya. Ketika pertama kali para korban mengalami kekerasan dari pasangannya, mereka cenderung meminta tanggung jawab. Akan tetapi, ketika hal tersebut sudah berulang kali terjadi, penelitian menunjukkan bahwa mereka cenderung merasa bersalah dan malu, serta mulai menganggap rendah diri sendiri. Tidak hanya itu, Aakvaag, dkk (2019) menyatakan bahwa seorang korban yang telah melalui toxic relationship memiliki risiko yang jauh lebih tinggi untuk menjadi korban lagi di kemudian hari. Penyebab pola ini bukanlah sifat masokhisme, kegagalan karakter, atau cacat pribadi si korban. Semua kekerasan yang sudah terjadi atau akan terjadi nantinya, adalah salah si pelaku.

Revictimization juga berkaitan dengan circle of abuse, sebuah siklus kekerasan yang terjadi di suatu hubungan toksik. Siklus ini membantu menggambarkan pola umum yang terjadi di dalamnya. Namun, para psikolog memberi catatan bahwa circle of abuse tidak selalu terjadi kepada mereka yang mengalami kekerasan dalam hubungan. Siklus ini melibatkan 4 tahap, di antaranya:

1. Building tension

         Para pelaku memiliki pemicu yang dapat menarik pelatuk ‘kekerasan’nya, misal: masalah keluarga, masalah pekerjaan, kelelahan, dan lainnya. Frustasi hal tersebut meningkatkan ketegangan dan mendorong perasaan tidak berdaya dan ketidakadilan si pelaku. Dalam hal ini, para korban mungkin merasa takut, cemas dan waspada. Mereka berusaha membuat si pelaku tidak marah, melakukan segala hal untuk memberi dukungan fisik dan emosional.

2. An incident of abuse

         Di tahap ini, pelaku akhirnya melepaskan kemarahan mereka dan mencoba mendapatkan kembali kekuasaannya dengan membangun kontrol. Kekerasan ini dapat berupa penghinaan, merusak barang, controlling, kekerasan seksual, dan juga manipulasi emosi. Si pelaku mungkin akan menuduh atau menyalahkan korban atas apa yang telah terjadi.

3. Reconciliation

         Setelah insiden kekerasan, emosi pelaku mulai menurun di tahap ini. Dalam upaya menghindari kekerasan yang telah dilakukannya, pelaku berusaha berbuat kebaikan, memberi hadiah dengan perasaan penuh kasih sayang. Perilaku manipulatif ini membuat korban percaya bahwa hubungan “asli”-nya telah kembali baik-baik saja.

4. Calm

         Untuk tetap menjaga hubungan mereka, kedua pihak dalam hubungan biasanya memberi penjelasan atau pembenaran atas kekerasan yang telah terjadi. Pelaku kekerasan akan meminta maaf, menunjuk faktor luar untuk membenarkan perilaku mereka, menyangkal hal yang sudah terjadi, bahkan menuduh korban memprovokasi mereka. Pelaku akan menunjukkan banyak penyesalan dan meyakinkan bahwa hal tersebut tak akan pernah terjadi lagi. Para korban mungkin akan menerima alasan tersebut, dan mulai meragukan ingatan tentang kekerasan yang telah terjadi. Tahap ini menawarkan sebuah kelegaan dari ketegangan dan rasa sakit fisik serta emosional yang dialami korban di tahap-tahap sebelumnya.

Lalu, siklus tersebut berulang kembali dalam toxic relationship. Seiring berjalannya waktu, periode calm dapat menjadi sangat singkat atau bahkan menghilang dari siklus kekerasan di atas.

Jika kalian memiliki teman yang sulit lepas dari toxic relationship, ketahuilah bahwa kita tidak berhak menghakimi mereka atas apa yang telah terjadi. Kita tidak bisa menyebut mereka bodoh dan denial. Juga bagi para penyintas toxic relationship, ketahuilah bahwa kita semua berhak sembuh dari luka-luka dan bahagia atas diri kita sendiri. Jangan pernah ragu untuk bersuara, mencari bantuan kepada kerabat dan profesional. Kita semua dapat membantu memulihkan kesehatan mental korban dan mewujudkan kesejahteraan. Dengan langkah kecil yang kita punya, kita dapat menurunkan risiko kerentanan terhadap revictimization.

Penulis: Laurentia Stella Vania

Referensi:

Fadelici, Keith. (2020). Revictimization: How Can This Keep Happening?. Diakses tanggal 20 Juli 2021. https://www.psychologytoday.com/us/blog/fostering-freedom/202005/revictimization-how-can-keep-happening

Stathopoulos, Mary. (2014). Sexual Revictimisation: Individual, Interpersonal, and Contextual Factors. Diakses tanggal 21 Juli 2021. https://aifs.gov.au/publications/sexual-revictimisation

Powell, Russell A, dkk. 2005. Introduction to Learning and Behavior, Fourth Edition. USA: Wadwosth Cengage Learning.

Raypole, Crystal. (2020). Understanding the Cycle of Abuse. Diakses 23 Juli 2021. https://www.healthline.com/health/relationships/cycle-of-abuse

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Open chat
💬 Ada yang bisa kami bantu kak?
Hi Kak👋
Ada yang bisa kami bantu?